Jumat, 08 Oktober 2010

Semuanya berawal dari bangsa Romawi : Mereka membangun sebuah kota besar di lembah indah Mosel, yang sangat berbeda dengan Galia dan Germania. Dan meski fondasi Romawi dibangun lebih dari dua ribu tahun lalu – di Trier, masa lalu masih hidup, dengan jiwa baru.
Kami sekeluarga sampai di Trier di satu hari di musim semi di tahun 2006. Hari itu cuaca cerah meski sedikit mendung menutup langit. Udara cukup sejuk. Beberapa jam di sana, kami lewati dengan nyaman.
Tiba di stasiun kota, Trier tampak seperti kota-kota Jerman lainnya. Stasiun kecilnya tak terlalu ramai. Lebih dari satu kilometer mesti kami tempuh untuk sampai di altstadt alias kota tua Trier.
Trier menjadi kota tempat tinggal modern dengan pusat kota tua yang nyaman. Selain konstruksi kuno Romawi yang mengesankan, kota-kota ini juga memiliki restauran-restauran besar, cafe-cafe, dan bar-bar beratmosfir mahasiswa.
Keberadaan penghuni asli kota ini tak diketahui pasti, kata Johann Wolfgang von Goethe saat dirinya tinggal di Trier pada tahun 1792. Berbagai riset sejarah tak mampu menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Hanya sedikit yang pasti : penguasa wilayah sebelum era Romawi hanya tinggal legenda. Enam belas tahun sebelum masehi, sebuah bukti bersejarah menunjukkan bahwa orang Romawi telah membangun sebuah jembatan pembelah Sungai Mosel di tengah-tengah pemukiman bangsa Celtic Treverer dan mendirikan kota pertama di tanah Jerman sebagai cikal bakal Trier. Mereka menamainya Augusta Treverorum.
Sejak saat itu, wilayah ini berkembang pesat menjadi kota metropolitan di abad ketiga masehi serta berperan sebagai ibo kota kaya di wilayah barat – dari Afrika Utara hingga Britania. Di bawah kekuasaan Romawi, kota ini memiliki penduduk hingga 80 ribu jiwa. Jumlah ini hampir menyamai jumlah penduduk yang tinggal di kota tua Trier saat ini.
Di bawah Konstantin yang Agung dan ibunya, Helena, kota ini meraih jaman keemasan dan bertahan hingga tahun 400. Kemudian, pusat pemukiman dialihkan ke Milan dan pusat  pemerintahan ke Arles. Angkatan perang mereka mesti berperang untuk mempertahankan daerah kekuasaan mereka lainnya. Augusta Treverorum pun ditinggalkan.
Setelahnya, kota tanpa pengamanan memadai ini beberapa kali menjadi korban perampokan dan perampasan oleh bangsa Jerman dan bangsa nomaden lain. Sejak tahun 480, Trier akhir jatuh ke tangan Kerajaan Perancis.
Atmosfer langsung berubah drastis saat kami mendekati Porta Nigra, sebuah highlight  bangunan antik di Trier. Bangunan ini terletak tepat di gerbang masuk kota tua, dan merupakan pintu masuk utara Augusta Treverorum. Porta Nigra yang berarti gerbang hitam dibangun antara tahun 180 hingga 200 masehi oleh tentara Romawi dari batu-batu alam berwarna hitam dan dipotong persegi dengan ukuran besar. Gerbang ini merupakan yang terbesar yang masih tersisa hingga kini.
Bangunan setinggi kira-kira 30 meter ini memiliki dua menara bertingkat tiga dan empat dan dihubungkan dengan ruangan yang sekarang berfungsi sebagai museum. Porta Nigra merupakan simbol lebih dari  dua ribu tahun sejarah Trier. Bagi pengunjung yang baru pertama kali mengunjungi Trier seperti kami, Porta Nigra adalah titik awal untuk menjelajahi seluruh bagian kota tua. Bangunan ini merupakan penghubung luar biasa antara masa lalu dengan kota modern masa kini. Tepat dibelakangnya, terdapat pusat informasi turis dengan informasi obyek-obyek wisata menarik lain di Trier.
Berdekatan dengan Porta Nigra dan memandang ke dalam kota tua Trier memiliki serasa melakukan perjalanan menembus waktu ke masa silam. Di seberang Porta Nigra, berjajar rumah-rumah berwarna hijau, merah muda, dan biru. Dari sini, tampak dome dan pertokoan dengan bangunan tua yang dipertahankan agar tampak seperti aslinya. Hampir semuanya tampak kuno di sini. Jika kita membalikkan pandangan ke seberang jalan lainnya, terlihat bangunan-bangunan modern dengan kaca-kaca berkilauan. Sangat kontras.
Kami melalui Simeonstrasse, jalan penghubung antara Porta Nigra dan Hauptmarkt. Jalan ini juga dibangun di jaman kekuasaan Romawi. Di jaman pertengahan, wilayah ini telah menjadi pusat perdagangan. Kursi-kursi cafe memenuhi sebagian badan jalan. Untunglah sebagian besar kota tua adalah wilayah pejalan kaki, sehingga kami dapat terus berjalan dengan aman dan nyaman. Di jalan ini, sekira seratus meter dari Porta Nigra berdiri salah satu gedung rumah indah abad pertengahan, Dreikoenigenhaus atau Rumah Tiga Raja, sebuah bangunan bergaya gothik berwarna putih dan merah muda. Bangunan rumah kuno tiga tingkat ini berdiri sekitar tahun 1230. Namanya berasal dari sebuah lukisan karya Epiphanie.
Beberapa puluh meter setelahnya adalah Judengasse dan Hauptmarkt, pusat kota tua Trier, dengan sebuah pancuran dari kumpulan patung di bagian tengahnya.  Judengasse dulunya adalah kampung  Yahudi. Mereka telah menempati wilayah ini sejak abad kedua atau ketiga masehi saat Trier masih dikuasai Romawi.
Di Hauptmarkt, terlihat beberapa pedagang sedang menjual dagangan. Adalah penjual sayur dan buah segar, serta kios-kios penjual cinderamata. Pemusik jalanan meramaikan suasana tengah kota. Kafe-kafe menggelar bangku-bangku di jalanan, sehingga pengunjungnya bisa melihat warga kota dan turis berlalu lalang.
Gedung-gedung di sekeliling hauptmarkt adalah bangunan tua yang berfungsi sebagai toko. Sebagian merupakan Fachwerkhaus, yakni  rumah kuno dengan kerangka terbuat dari kayu-kayu besar berwarna-warni. Kayu-kayu tersebut dipasang tegak, bersilang, ataupun membentuk pola tertentu. Sebagian gedung lainnya merupakan gedung berarsitektur kuno dengan jendela-jendela uniknya. Bahkan toko pakaian terkenal Hermes & Mauritz alias H&M menempati sebuah bangunan tua berwarna merah muda.
Dari sebuah gang sempit di antara pertokoan, kita bisa melihat Dome zu Trier. Bangunan kuno ini berdiri di bekas istana milik Konstantin. Setelah Konstantin menempatinya untuk terakhir kali pada tahun 328/329, istana ini ditinggalkan begitu saja. Pada tahun 330, di bekas istana dibangun gereja antik seluas empat kali lipat luas kompleks gereja saat ini, meliputi gedung-gedung di sekitarnya hingga sebagian hauptmarkt.
Bangunan dome masih memiliki akar romawi dengan tembok-tembok asli setinggi hingga 25 meter. Pilar granit besar dekat pintu masuk memiliki bentuk sama dengan rumah ibadah romawi kuno. Bangunan dome saat ini punya tiga kapel, beranda, ruang penyimpanan barang berharga, dan ruang barang keramat, dengan rentang waktu pembangunan lebih dari 1650 tahun.
Tepat di sebelah kiri Dome, berdiri megah gereja Liebfrauen yang dibangun sekitar abad 13. Meski bersebelahan, kedua gereja ini memiliki gaya berbeda. Jika dome masih dipengaruhi gaya romawi, Liebfrauen adalah bangunan bergaya gothik, dengan detail pintu, jendela, dan pilar yang sangat indah. Uskup Agung Theoderich von Wied memimpin pembangunan Liebfrauen di awal abad 13, dan dilanjutkan oleh Uskup Agung Konrad von Hochstaden. Keistimewaannya terletak pada denah yang berbentuk salib. Tepat dipersilangan, berdiri kumpulan kapel. Sebuah museum berisi koleksi kedua gereja berdiri di depan gereja Liebfrauen. Karena keindahan dan kemegahannya, Dome, Gereja Liebfrauen dan sisa-sisa peninggalan Romawi lainnya di Trier dinobatkan sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Dunia PBB, UNESCO.
Kami menyusuri gang di sisi kiri gereja Liebfrauen, menikmati deretan gedung-gedung tua lain dan berjalan menuju Basilika. Beberapa rombongan turis lainnya tampak hilir mudik melewati tempat ini. Sebagian menyempatkan diri untuk memotret bangunan tua Trier atau sekedar berfoto bersama.
Basilika adalah saal dimana Konstantin dinobatkan sebagai kaisar.  Gedung tinggi ini terdiri dari sebuah ruangan sangat besar bernama Aula Palatina, dengan ukuran lebar 27,2 meter, tinggi 33 meter dan panjang 67 meter.  Bangsa Romawi ingin menunjukkan kebesaran dan kekuasaan mereka melalui arsitektur yang mereka bangun. Konon, saking besarnya ruangan ini, hingga sebuah bunyi orgel akan terdengan gaungnya 7 detik kemudian. Sejak pertengahan abad 19, basilika berfungsi sebagai satu-satunya gereja protestan di Trier, dimana sebagian besar penduduknya menganut agama kristen katolik.
Tepat di depan Basilika terbentang istana tetirah keluarga kerajaan atau dikenal dengan sebutan Kurfuerstliche Palais. Istana ini merupakan salah satu istana bergaya rokoko atau barock akhir terindah di dunia. Taman di depannya, semakin menambah pesona istana. Di sisi kanan, terdapat undakan dan area kosong, dimana banyak anak muda nongkrong dan bermain skate board. Di sisi lain taman, tumbuh pohon-pohon rindang, lengkap dengan bangku taman di bawahnya. Dua kolam berada di tengah pepohonan.
Sebuah jalan di sisi taman membawa kami ke arah salah satu atraksi utama kota tua Trier, yakni Kaiserthermen, satu dari tiga pemandian umum jaman romawi di Trier. Di awal abad 4 masehi, Kaiserthermen menjadi pemandian terbesar di wilayah kekuasaan romawi. Bangunan pemandian tua ini berada di atas dan bawah tanah. Sebagian telah hancur dimakan waktu. Sebagian permukaannya bahkan ditumbuhi tumbuhan merambat. Tempat ini dibuka untuk umum di waktu-waktu tertentu. Sebuah pagar besi mengelilingi, sehingga pada saat tutup, pengunjung masih bisa menikmatinya dari luar pagar.
Empat jam perjalanan singkat kami di kota tua Trier benar-benar terasa sangat singkat. Masih banyak obyek menarik yang sebenarnya ingin kami kunjungi. Namun kami mengakhirinya dengan berjalan menyusuri tembok pembatas kota tua menuju stasiun utama Trier.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar